Senin, 10 Agustus 2015

MELEPASKAN HAK



MELEPASKAN HAK
R
asul Paulus menulis nasihat yang sangat penting untuk dipahami oleh orang Kristen dalam suratnya kepada jemaat di Filipi. Ini berlaku bukan hanya kepada jemaat di Filipi, tetapi kepada kita juga.
Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. (Filipi 2:5-8)
Berita penting yang terdapat dalam ayat-ayat di atas ini adalah, seperti Yesus melepaskan hak-hak-Nya dalam kesetaraan-Nya dengan Allah, orang percaya juga harus melepaskan hak-haknya untuk Tuhan. Ini adalah rahasia bagaimana seseorang dipakai oleh Tuhan. Demi pekerjaan Bapa, Tuhan Yesus melepaskan segala hak-Nya. Patut diperhatikan dengan seksama, dalam ayat tersebut dikatakan Yesus setara dengan Allah, tetapi Ia melepaskan kesetaraan-Nya itu. Sesungguhnya hanya dengan cara demikianlah Tuhan Yesus dapat memuliakan Bapa dan menyelesaikan tugas penyelamatan atas dunia ini.
Melepaskan hak artinya rela tidak menikmati apa yang menjadi bagiannya, atau rela melepaskan apa yang menjadi miliknya demi kepentingan kerajaan Allah. Hak-hak tersebut antara lain: hak untuk dihormati dan disanjung, hak untuk dikasihi, hak diperlakukan adil, hak menikmati milik sendiri, hak dilayani, hak hidup wajar seperti manusia lain dan lain sebagainya. Orang yang rela melepaskan hak adalah orang yang dapat melayani Tuhan dengan benar.

Kehilangan Hak
Sebenarnya setiap orang percaya harus sudah kehilangan haknya. Ini karena penebusan oleh Tuhan Yesus di satu aspek berarti dosa-dosa orang percaya diampuni dan semua pelanggaran dihapus. Tetapi aspek lain berarti segenap hidupnya menjadi milik Tuhan. Seperti dikatakan oleh Paulus: Atau tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah, dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri? Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar: Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu! (1 Korintus 6:19-20)


Orang yang ditebus telah kehilangan segala hak hidupnya sendiri. Sama seperti seorang budak yang dibeli oleh seorang tuan, maka tuannya yang berhak penuh atas si budak tersebut. Si budak tidak berhak atas dirinya sama sekali. Melepaskan hak artinya tidak lagi berkuasa mengatur dirinya, tetapi tuan yang memilikinya yang mengaturnya.
Ada pernyataan Yesus yang sangat terkenal yang kita gemakan sampai sekarang:
Lalu kata Yesus kepada mereka: “Kalau begitu berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah!” (Lukas 20:25). Yang dimaksud Tuhan Yesus dengan sesuatu yang di atasnya ada gambar dan tulisan kaisar adalah uang Roma denarius (dinar). Itu harus dikembalikan kepada Kaisar dalam bentuk pajak. Tetapi pernyataan selanjutnya menggugah kita: apakah yang di atasnya ada gambar dan tulisan Allah? Itulah manusia. Itulah kita. Manusia diciptakan menurut rupa dan gambar Allah, dan Ia mengukir kita dengan tangan-Nya sendiri.
Kata yang digunakan untuk “berikanlah” adalah apodidomi yang bisa berarti “mengembalikan kepada pemilik aslinya”. Tuhan yang menciptakan manusia, Tuhan juga yang berhak mengambil kembali apa yang dimiliki-Nya. Demikianlah mengapa Yohanes mengatakan Tuhan datang kepada milik kepunyaan-Nya (Yoh.1:11).Keteladanan Tuhan Yesus
Peragaan melepaskan hak ditunjukkan oleh Tuhan Yesus dalam Yohanes 13:5, 12-14, ketika Ia mencuci kaki murid-muridNya. Sebagai anak Tuhan yang mengerti kebenaran, kita akan menemukan kenyataan bahwa karunia yang Tuhan berikan kepada orang percaya bukan saja keselamatan, tetapi juga karunia untuk menderita. Orang percaya bukan hanya mengamini karunia yang pertama dan mengabaikan karunia yang kedua ini. Karunia untuk menderita inilah yang akan melengkapi karunia keselamatan yang sudah Tuhan berikan. Menderita bagi Tuhan artinya orang percaya mengambil bagian dalam pekerjaan Tuhan. Orang percaya diperkenankan untuk memikirkan pekerjaan
Tuhan dan terlibat di dalamnya. Untuk itu orang percaya harus melepaskan hak-haknya.
Pada saat orang percaya memikirkan pekerjaan Tuhan dan terlibat di dalamnya, maka akan menemukan kehidupan yang sangat realistis dan nyata, bahwa hidup ini benar-benar beresiko tinggi karena seseorang akan menghadapi sorga kekal maupun neraka kekal. Ketika orang percaya terbeban untuk menyelamatkan jiwa-jiwa dan berusaha untuk mendewasakan mereka, maka akan terbiasa untuk memikirkan sorga kekal atau neraka kekal. Jika orang percaya terbiasa memikirkannya, maka mereka akan rela kehilangan segala hak demi keselamatan jiwa orang lain. Mereka dapat melayani pekerjaan Tuhan bukan karena upah, sebab tidak merasa memiliki hak apapun. Mereka hanya melakukan apa yang harus dilakukan sebagai hamba yang mempersembahkan hidup bagi tuannya segenap hati.
Bagian dari keteladanan yang ditampilkan Yesus dalam kisah penyaliban itu juga berbicara bagaimana seorang Hamba rela melepaskan kesenangan demi pelayanan bagi Bapa. Ia tergantung antara langit dan bumi dalam kemiskinan. Paulus pernah berkata kepada anak rohaninya, Timotius, “Asal ada makanan dan pakaian cukuplah” (1 Tim. 6:8). Implikasinya, disuarakan panggilan terhadap seluruh anak-anak Tuhan untuk bersedia kehilangan hak untuk menikmati dunia. Paulus tidak melarang orang mendapatkan berbagai fasilitas hidup, melainkan ia menasehati agar orang percaya tidak merasa berhak menikmati hidup sama seperti anak-anak dunia. Ia sendiri membuktikan kebenaran pernyataan-pernyataan di dalam suratnya di dalam hidupnya sampai ia menghadapi kematiannya sebagai martir di Roma. Ia bukan hanya bisa berbicara tetapi juga melakukan kebenaran sebagai teladan hidup bagi orang lain.

Tantangan yang dihadapi
Dewasa ini melepaskan hak kian sulit sebab kita hidup dalam masyarakat postmodern yang makin konsumeristis sampai pada level tidak terbatas dan tidak terkendali, istilahnya adalah affluenza. Kondisi ini juga dipicu oleh dunia periklanan yang sangat memikat. Segala media telah menjadi kendaraan iklan, mulai dari surat kabar hingga media sosial di internet dan game di ponsel. Masyarakat terpengaruh hingga menjadi insan-insan yang selalu ingin memiliki apa yang dijajakan oleh produsen untuk berbagai kesenangan–kesenangan dirinya sendiri. Dan gairah untuk memiliki apa yang orang lain miliki menjadi irama hidup pada hampir semua orang. Inilah yang dimaksudkan Alkitab sebagai keinginan mata (1 Yoh 2:16). Pola hidup seperti ini tentu juga mempengaruhi pola berpikir banyak orang percaya, terbukti dengan kenyataan adanya anak-anak Tuhan yang memenuhi dirinya dengan berbagai fasilitas seakan-akan ia berhak hidup wajar seperti anak-anak dunia. Suasana dunia hari ini mempengaruhi secara kuat orang percaya untuk semakin kuat mempertahankan haknya.
Pernyataan Tuhan Yesus bahwa serigala (dalam bahasa aslinya, rubah) memiliki liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya. Pernyataan ini menunjukkan bahwa Tuhan Yesus rela melepaskan hak untuk menikmati kesenangan atau kenyamanan hidup. Oleh sebab itu seorang anak Tuhan harus berani menderita seperti Tuhan Yesus (Rom. 8:17). Ini jangan diartikan bahwa hidup anak Tuhan menjadi tidak boleh nyaman. Kenyamanan hidup tidak ditentukan oleh fasilitas duniawi, tetapi suasana jiwa dalam damai sejahtera Tuhan, yang ditinggalkan-Nya bagi kita (Yoh. 14:27) Untuk hal ini Tuhan menjanjikan damai sejahtera yang melampaui segala akal untuk mengawal hidup kita (Fil. 4:7).
Berbicara mengenai ukuran standar hidup, pengertian normal memang relatif, tetapi kalau ditinjau dari pola hidup masyarakat pada jamanNya pun kehidupan Tuhan Yesus tampak tidak normal. Hal ini sudah dimulai ketika Ia berusia 12 tahun. Anak-anak seusia ini biasanya masih hanyut dengan berbagai kesibukan permainan sebagai anak-anak. Tetapi Tuhan Yesus pada usia tersebut sudah sangat giat belajar Taurat. Karena kemampuannya memahami Taurat, maka ia bisa bersoal jawab dengan para alim ulama. Sebagai pria normal, pada umumnya di usia 30 tahun sudah menikah dan hidup berumah tangga serta hari-hari hidupnya dihabiskan bersama keluarganya. Tetapi tidaklah demikian dengan Tuhan Yesus. Ia meninggalkan segala kesenangan hidup untuk menyelesaikan tugas dari Bapa.
                  Setelah baptisan diterima-Nya di Sungai Yordan dari Yohanes Pembaptis, Yesus memulai tugas penyelamatan-Nya. Ia memilih murid-murid-Nya dan sejak itu Ia mulai memberitakan Kerajaan Allah. Tuhan Yesus meninggalkan keluarga-Nya: Ibu Maria serta saudara-saudara-Nya. Alkitab menginformasikan bahwa Ia berjalan keliling untuk mengajar (Mat. 4:23-35). Hampir tidak ada informasi di dalam Alkitab bahwa Tuhan Yesus kembali ke kampung halaman-Nya berkumpul kembali dengan keluarga-Nya. Petualangan Anak Allah ini berakhir di kayu salib. Di kayu salib, Ia hanya bisa menatap ibu-Nya yang tentu memandang-Nya dengan sedih, kemudian Ia menyerahkan tanggung-jawab memelihara ibu-Nya kepada murid-murid-Nya (Yoh. 19:27). Luar biasa. Tragis kelihatannya tetapi itulah keagungan pribadi yang berjuang untuk kepentingan Bapa-Nya. Keagungan seperti inilah yang harus juga orang percaya miliki. Dan Tuhan akan memampukan kita memahami dan mengenakannya. Kekristenan adalah perjalanan hidup kehilangan hak. Kekristenan yang sejati mengenakan kehidupan seperti ini, yaitu sebuah kehidupan yang melepaskan segala hak.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar