MELEPASKAN HAK
R
|
asul Paulus menulis nasihat yang
sangat penting untuk dipahami oleh orang Kristen dalam suratnya kepada jemaat
di Filipi. Ini berlaku bukan hanya kepada jemaat di Filipi, tetapi kepada kita
juga.
Hendaklah kamu dalam
hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus
Yesus, yang walaupun dalam
rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang
harus dipertahankan, melainkan telah
mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi
sama dengan manusia. Dan dalam keadaan
sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan
sampai mati di kayu salib. (Filipi 2:5-8)
Berita penting yang
terdapat dalam ayat-ayat di atas ini adalah, seperti Yesus melepaskan
hak-hak-Nya dalam kesetaraan-Nya dengan Allah, orang percaya juga harus
melepaskan hak-haknya untuk Tuhan. Ini adalah rahasia bagaimana seseorang
dipakai oleh Tuhan. Demi pekerjaan Bapa, Tuhan Yesus melepaskan segala hak-Nya.
Patut diperhatikan dengan seksama, dalam ayat tersebut dikatakan Yesus setara
dengan Allah, tetapi Ia melepaskan kesetaraan-Nya itu. Sesungguhnya hanya
dengan cara demikianlah Tuhan Yesus dapat memuliakan Bapa dan menyelesaikan
tugas penyelamatan atas dunia ini.
Melepaskan
hak artinya rela tidak menikmati apa yang menjadi bagiannya, atau rela
melepaskan apa yang menjadi miliknya demi kepentingan kerajaan Allah.
Hak-hak tersebut antara lain: hak untuk dihormati dan disanjung, hak untuk
dikasihi, hak diperlakukan adil, hak menikmati milik sendiri, hak dilayani, hak
hidup wajar seperti manusia lain dan lain sebagainya. Orang yang rela
melepaskan hak adalah orang yang dapat melayani Tuhan dengan benar.
Kehilangan Hak
Sebenarnya setiap
orang percaya harus sudah kehilangan haknya. Ini karena penebusan oleh Tuhan
Yesus di satu aspek berarti dosa-dosa orang percaya diampuni dan semua
pelanggaran dihapus. Tetapi aspek lain berarti segenap hidupnya menjadi milik
Tuhan. Seperti dikatakan oleh Paulus: Atau tidak tahukah
kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam dalam kamu, Roh Kudus yang
kamu peroleh dari Allah, dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri? Sebab kamu telah
dibeli dan harganya telah lunas dibayar: Karena itu muliakanlah Allah dengan
tubuhmu! (1 Korintus 6:19-20)
Orang yang ditebus telah kehilangan segala hak hidupnya sendiri.
Sama seperti seorang budak yang dibeli oleh seorang tuan, maka tuannya yang
berhak penuh atas si budak tersebut. Si budak tidak berhak atas dirinya sama
sekali. Melepaskan hak artinya tidak lagi berkuasa mengatur dirinya, tetapi
tuan yang memilikinya yang mengaturnya.
Ada pernyataan Yesus
yang sangat terkenal yang kita gemakan sampai sekarang:
Lalu kata Yesus kepada mereka: “Kalau begitu berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib
kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada
Allah!” (Lukas
20:25). Yang dimaksud Tuhan Yesus dengan sesuatu yang di atasnya ada gambar dan
tulisan kaisar adalah uang Roma denarius (dinar). Itu harus dikembalikan kepada
Kaisar dalam bentuk pajak. Tetapi pernyataan selanjutnya menggugah kita: apakah
yang di atasnya ada gambar dan tulisan Allah? Itulah manusia. Itulah kita.
Manusia diciptakan menurut rupa dan gambar Allah, dan Ia mengukir kita dengan
tangan-Nya sendiri.
Kata yang digunakan untuk “berikanlah” adalah apodidomi yang bisa berarti “mengembalikan kepada pemilik
aslinya”. Tuhan yang menciptakan manusia, Tuhan juga yang berhak mengambil kembali
apa yang dimiliki-Nya. Demikianlah mengapa Yohanes mengatakan Tuhan
datang kepada milik kepunyaan-Nya
(Yoh.1:11).Keteladanan Tuhan Yesus
Peragaan melepaskan hak ditunjukkan oleh Tuhan Yesus dalam
Yohanes 13:5, 12-14,
ketika Ia mencuci kaki murid-muridNya. Sebagai anak Tuhan yang mengerti
kebenaran, kita akan menemukan kenyataan bahwa karunia yang Tuhan berikan
kepada orang percaya bukan saja keselamatan, tetapi juga karunia untuk
menderita. Orang percaya bukan hanya mengamini karunia yang pertama dan mengabaikan
karunia yang kedua ini. Karunia untuk menderita inilah yang akan melengkapi
karunia keselamatan yang sudah Tuhan berikan. Menderita bagi Tuhan artinya
orang percaya mengambil bagian dalam pekerjaan Tuhan. Orang percaya diperkenankan
untuk memikirkan pekerjaan
Tuhan dan terlibat di dalamnya.
Untuk itu orang percaya harus melepaskan hak-haknya.
Pada
saat orang percaya memikirkan pekerjaan Tuhan dan terlibat di dalamnya, maka
akan menemukan kehidupan yang sangat realistis dan nyata, bahwa hidup ini
benar-benar beresiko tinggi karena seseorang akan menghadapi sorga kekal maupun
neraka kekal. Ketika orang percaya terbeban untuk menyelamatkan jiwa-jiwa dan
berusaha untuk mendewasakan mereka, maka akan terbiasa untuk memikirkan sorga
kekal atau neraka kekal. Jika orang percaya terbiasa memikirkannya, maka mereka
akan rela kehilangan segala hak demi keselamatan jiwa orang lain. Mereka dapat
melayani pekerjaan Tuhan bukan karena upah, sebab tidak merasa memiliki hak
apapun. Mereka hanya melakukan apa yang harus dilakukan sebagai hamba yang
mempersembahkan hidup bagi tuannya segenap hati.
Bagian
dari keteladanan yang ditampilkan Yesus dalam kisah penyaliban itu juga
berbicara bagaimana seorang Hamba rela melepaskan kesenangan demi pelayanan
bagi Bapa. Ia tergantung antara langit dan bumi dalam kemiskinan. Paulus pernah
berkata kepada anak rohaninya, Timotius, “Asal
ada makanan dan pakaian cukuplah”
(1 Tim. 6:8). Implikasinya, disuarakan panggilan terhadap seluruh anak-anak
Tuhan untuk bersedia kehilangan hak untuk menikmati dunia. Paulus tidak
melarang orang mendapatkan berbagai fasilitas hidup, melainkan ia menasehati
agar orang percaya tidak merasa berhak menikmati hidup sama seperti anak-anak
dunia. Ia sendiri membuktikan kebenaran pernyataan-pernyataan di dalam suratnya
di dalam hidupnya sampai ia menghadapi kematiannya sebagai martir di Roma. Ia
bukan hanya bisa berbicara tetapi juga melakukan kebenaran sebagai teladan
hidup bagi orang lain.
Tantangan yang dihadapi
Dewasa ini melepaskan hak kian
sulit sebab kita hidup dalam masyarakat postmodern yang makin konsumeristis sampai pada level tidak terbatas dan tidak
terkendali, istilahnya adalah affluenza. Kondisi ini juga dipicu oleh dunia periklanan yang sangat memikat.
Segala media telah menjadi kendaraan iklan, mulai dari surat kabar hingga media
sosial di internet dan game di ponsel. Masyarakat terpengaruh hingga menjadi
insan-insan yang selalu ingin memiliki apa yang dijajakan oleh produsen untuk
berbagai kesenangan–kesenangan dirinya sendiri. Dan gairah untuk memiliki apa
yang orang lain miliki menjadi irama hidup pada hampir semua orang. Inilah yang
dimaksudkan Alkitab sebagai keinginan mata (1 Yoh 2:16). Pola hidup seperti ini
tentu juga mempengaruhi pola berpikir banyak orang percaya, terbukti dengan
kenyataan adanya anak-anak Tuhan yang memenuhi dirinya dengan berbagai
fasilitas seakan-akan ia berhak hidup wajar seperti anak-anak dunia. Suasana
dunia hari ini mempengaruhi secara kuat orang percaya untuk semakin kuat
mempertahankan haknya.
Pernyataan
Tuhan Yesus bahwa serigala (dalam bahasa aslinya, rubah) memiliki liang dan
burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk
meletakkan kepala-Nya. Pernyataan ini menunjukkan bahwa Tuhan Yesus rela
melepaskan hak untuk menikmati kesenangan atau kenyamanan hidup. Oleh sebab itu
seorang anak Tuhan harus berani menderita seperti Tuhan Yesus (Rom. 8:17). Ini
jangan diartikan bahwa hidup anak Tuhan menjadi tidak boleh nyaman. Kenyamanan hidup
tidak ditentukan oleh fasilitas duniawi, tetapi suasana jiwa dalam damai
sejahtera Tuhan, yang ditinggalkan-Nya
bagi kita (Yoh. 14:27) Untuk hal ini Tuhan menjanjikan damai sejahtera
yang melampaui segala akal untuk mengawal hidup kita (Fil. 4:7).
Berbicara
mengenai ukuran standar hidup, pengertian normal memang relatif, tetapi kalau
ditinjau dari pola hidup masyarakat pada jamanNya pun kehidupan Tuhan Yesus
tampak tidak normal. Hal ini sudah dimulai ketika Ia berusia 12 tahun.
Anak-anak seusia ini biasanya masih hanyut dengan berbagai kesibukan permainan
sebagai anak-anak. Tetapi Tuhan Yesus pada usia tersebut sudah sangat giat belajar
Taurat. Karena kemampuannya memahami Taurat, maka ia bisa bersoal jawab dengan
para alim ulama. Sebagai pria normal, pada umumnya di usia 30 tahun sudah
menikah dan hidup berumah tangga serta hari-hari hidupnya dihabiskan bersama
keluarganya. Tetapi tidaklah demikian dengan Tuhan Yesus. Ia meninggalkan segala kesenangan hidup
untuk menyelesaikan tugas dari Bapa.
Setelah baptisan diterima-Nya di Sungai Yordan dari Yohanes Pembaptis, Yesus
memulai tugas penyelamatan-Nya. Ia memilih murid-murid-Nya dan sejak itu Ia
mulai memberitakan Kerajaan Allah. Tuhan Yesus meninggalkan keluarga-Nya: Ibu
Maria serta saudara-saudara-Nya. Alkitab menginformasikan bahwa Ia berjalan
keliling untuk mengajar (Mat. 4:23-35). Hampir tidak ada informasi di dalam
Alkitab bahwa Tuhan Yesus kembali ke kampung halaman-Nya berkumpul kembali
dengan keluarga-Nya. Petualangan Anak Allah ini berakhir di kayu salib. Di kayu
salib, Ia hanya bisa menatap ibu-Nya yang tentu memandang-Nya dengan sedih,
kemudian Ia menyerahkan tanggung-jawab memelihara ibu-Nya kepada
murid-murid-Nya (Yoh. 19:27). Luar biasa. Tragis kelihatannya tetapi itulah
keagungan pribadi yang berjuang untuk kepentingan Bapa-Nya. Keagungan seperti
inilah yang harus juga orang percaya miliki. Dan Tuhan akan memampukan kita
memahami dan mengenakannya. Kekristenan adalah perjalanan hidup kehilangan hak.
Kekristenan yang sejati mengenakan kehidupan seperti ini, yaitu sebuah
kehidupan yang melepaskan segala hak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar